Kali
ini saya akan membahas tentang sejarah Persia
(Iran) dan Yunani
menurut film “300”, “Rise of an Empire”
(versi Hollywood atau
menurut novelnya) dan dari berbagai sumber yang berbeda (menurut ahli
sejarah dan Al-Kitab). Mari kita simak bersama dan membandingkannya.
Akan banyak pengetahuan baru yang akan kita dapat.
300 |
“Sejarah adalah potongan kisah yang sarat
kedustaan, manipulasi dan hanya peduli pada kisah-kisah para
pemenang.” (Thomas Carlyle,
Sejarawan Skotlandia, 1834)
Hampir dua abad kemudian kalimat-kalimat Carlile
kembali menggetarkan relung nurani. Betapa tidak, saat Amerika
Serikat berupaya menghimpun dukungan dunia
internasional untuk menghukum Iran
yang dicurigai tengah mengembangkan senjata nuklir, Hollywood
tiba-tiba merilis film yang menempelkan stigma bahwa bangsa Persia
(Iran) merupakan
bangsa yang kejam, haus darah, barbar, dan pantas disebut teroris.
Adalah
film “300” yang pertama kali dirils tanggal 9 Maret 2007 yang
menempelkan stigma tersebut. Film besutan Warner
Bross yang diangkat dari novel Frank
Miller ini mengisahkan tentang pertempuran
Thermopylae (480 SM)
antara 300 tentara Sparta
(Yunani) pimpinan Raja
Leonidas mengadapi
pasukan Persia (Iran)
pimpinan King of Xerxes
(Khashayar Shah) Raja
Persia dari Dinasti
Achaemenian yang ingin
merebut Yunani.
Nama
anak Raja Darius
ditafsirkan sebagai Khshayarsha
yang merupakan nama Persianya, yang kemudian diterjemahkan dalam
Yunani sebagai Xerxes
I, dan dalam Ibrani disebut Ahasyweros
atau Akhashverosh,
atau dalam Inggris disebut Ahas-uerus.
Tragedi
bersejarah yang dipoles oleh Hollywood
ini digambarkan dalam bentuk perlawanan sekelompok tentara barat yang
jumlahnya sedikit melawan pasukan kolosal timur yang keji dan dzalim.
Dengan menggunakan spesial efek bangsa Persia
(Iran) dalam film ini
dikesankan sebagai bangsa yang biadab dan tak beradab. Raja Xerxes
digambarkan sebagai seorang diktator/ tiran yang selalu dikelilingi
para tukang sihir dan pelacur binal. Berlawanan dengan bangsa Sparta
(Yunani) yang
digambarkan berperadaban tinggi dan demokratis.
APAKAH FILM TERSEBUT SESUAI DENGAN KENYATAAN?
Surat
kabar terkenal Amerika
Serkat
“The
Washington Post” berpendapat
bahwa film “300” ditujukan untuk penonton yang nalarnya rendah.
Bahkan dalam film itu sama sekali tak dijelaskan urgensi pengorbanan
untuk menyelamatkan Thermopylae
dan juga tak ada sedikitpun ulasan soal kekalahan telak Yunani
dalam menghadapi bangsa Iran. Bagian film lainnya juga menampilkan
Parlemen Yunani
yang menolak untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada Raja
Leonidas
melalui serangkaian perdebatan. Ini mengingatkan Kongres AS yang
menolak kebijakan Presiden AS, George
W. Bush,
soal Perang Irak.
Seorang
profesor sejarah kuno dari Universitas California bernama Touraj
Daryaee membantah paparan film “300” yang
hanya dibuat dalam waktu 60 hari tersebut. Menurut Daryaee,
berdasar catatan sejarah yang ada, Persia
(Iran) di bawah
kekuasaan Dinasti Achaemenian
telah sangat maju pada jamannya dan telah membuat perundang-undangan
yang sangat manusiawi. Sebaliknya, masyarakat Sparta
(Yunani) masih berada
di bawah perbudakan dan tiran.
Hal
ini sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan di film “300”.
“Sparta
adalah kerajaan militer. Sejarah peradaban Iran
telah lebih dahulu muncul beberapa abad sebelum peradaban Eropa.
Iran
merupakan bangsa yang pertama kali mendirikan imperium di dunia. Pada
saat itu bangsa Iran
berkuasa di berbagai kawasan yang meliputi Mesir
hingga India
dan melintasi Teluk Persia
hingga Yunani”,
ujar Daryaee.
Dinasti
Achaemenian pada
jamannya telah mempersembahkan berbagai karya besar untuk umat
manusia diantaranya instansi pos, bendungan air, kanal-kanal
perairan, dan jalur transportasi yang panjang. Bahkan Istana
Persepolis yang
berdiri di Persia merupakan simbol peradaban dunia kala itu. Pionir
peradaban Achaemenian
adalah seorang pendekar bernama Cyrus.
Dalam sejarah Cyrus
juga tercatat sebagai pembebas kaum Yahudi dari kezhaliman Babylonia.
Pada 2500 tahun yang lalu, salah satu raja Dinasti Achaemenian
bernama Darius juga
menguasi Terusan Zues.
Dinasti Achaemenian
akhirnya runtuh setelah datangnya serangan dari Alexander
Macedonia. Alexander
berambisi untuk menguasai dunia termasuk Persia, sehingga dia
melakukan serangkaian ekspedisi perang ke berbagai wilayah. Alexander
Macedonia menyerang
Persia dengan membakar Istana Persepolis.
Puing-puing istana tersebut sampai sekarang masih dapat kita lihat di
Shiraz, selatan Iran.
Sekarang Barat sebagai penerus ambisi Alexander
kembali menggelar perang terhadap Iran
(Persia) melalui
berbagai cara, termasuk melalui perangkat canggih pencuci otak,
Hollywood.
Presiden
Iran Mahmoud Ahmadinejad
pun menegaskan jika film ini sengaja dirilis untuk menempelkan stigma
pada bangsa Iran bahwa bangsa besar tersebut adalah teroris yang
wajib diperangi.
“Hollywood
adalah salah satu representasi ambisi politik Washington
di dunia perfilman. Mereka berusaha keras mencoreng peradaban besar
Iran dan membangun opini bahwa Iran adalah bangsa teroris”, tegas
Ahmadinejad.
Inilah
misi dari film “300” yang sesungguhnya.
RISE OF AN EMPIRE
Tujuh tahun setelah film “300” yang pertama tayang kini telah ada sekuel filmnya berjudul “300 Rise of an Empire”. Film yang disutradai oleh Noam M. ini mengisahkan tentang pasukan Athena (Yunani) yang tak terlatih dan jumlah terbatas berjuang melawan pasukan terbaik Persia (Iran) yang dipimpin oleh panglima perang angkatan laut perempuan keturunan Yunani bernama Artemisia yang diperankan oleh Eva Green.
Tujuh tahun setelah film “300” yang pertama tayang kini telah ada sekuel filmnya berjudul “300 Rise of an Empire”. Film yang disutradai oleh Noam M. ini mengisahkan tentang pasukan Athena (Yunani) yang tak terlatih dan jumlah terbatas berjuang melawan pasukan terbaik Persia (Iran) yang dipimpin oleh panglima perang angkatan laut perempuan keturunan Yunani bernama Artemisia yang diperankan oleh Eva Green.
Eva Green as Artemisia |
Di
akhir cerita pasukan Athena,
Sparta dan wilayah
lain di Yunani bersatu
melawan pasukan Persia
(Iran) dan berhasil
menang. Sebelumnya digambarkan tentang perjuangan pasukan Sparta
melawan pasukan Persia
sebelumnya yang juga ada di film “300”. Serta digambarkan tentang
Raja Darius
(diperankan Igal Naor)
ayah dari Raja Xerxes
(diperankan Rodrigo
Santoro) yang mati
terpanah oleh salah satu pasukan Athena
bernama Themistokles
yang diperankan oleh Sullivan Stapleton.
Themistokles inilah
yang nantinya yang memimpin pertempuran melawan Persia
berhadapan dengan Artemisia.
Jika
di film “300” Raja Leonidas
yang menjadi ruh cerita atau tokoh utama. Di film “300 Rise
of an Empire” Themistokles
lah yang menjadi pahlawan perang sekaligus man
of the match dari perang tersebut. Sosok
Themistokles
digambarkan sebagai orang yang pemberani dan jago dalam menyusun
strategi perang. Dia bahkan dapat mengelabuhi Artemisia
yang merupakan panglima perang sangat terlatih yang telah
berkali-kali memenangkan peperangan dan ahli dalam siasat perang.
Di film ini lagi-lagi bangsa Persia
(Iran) dikesankan
sebagai bangsa yang bejat, tak beradab, haus darah, licik namun mudah
dikelabuhi. Sebaliknya bangsa Athena
(Yunani) digambarkan
sebagai bangsa yang pantang menyerah dan dengan digdayanya tiba-tiba
bisa menjadi pasukan perang yang hebat padahal mereka hanya berasal
dari para petani, peternak, pedagang dan tak terlatih. Dengan jumlah
mereka yang sangat sedikit tak sebanding dengan kuantitas dan
kualitas pasukan Persia
(Iran) pimpinan
Artemisia, namun
dengan adanya seorang Superman (baca:
Themistokles) dapat
menjadi kekuatan penentu kemenangan pasukan Athena
(Yunani) dalam
menghadapi Persia
(Iran). Juga dengan
bantuan pasukan Sparta
yang dipimpin oleh janda Raja Leonidas
yaitu Ratu Gorgo yang
diperankan oleh Lena Headey,
yang datang belakangan bersama pasukan lain, mengakhiri film yang
berdurasi sekitar satu setengah jam ini.
300 Rise of an Empire |
RAJA
XERXES PENGANUT ZOROASTER
Faktanya Raja Xerxes bukanlah
sosok sadis seperti yang digambarkan dalam film “300” maupun “300
Rise of Empire”.
Xerxes disebut sebagai
raja setengah dewa karena dia adalah seorang Zoroastrian
(orang yang menganut ajaran Zoroaster/
Zarathustra). Menurut ajaran ini raja adalah
seorang yang bertindak atas nama Tuhan/ Dewa sehingga harus
mencerminkan keadilan. Inilah yang mendasari pendapat atau
kepercayaan bahwa raja adalah titisan dewa. Pembunuhan tidak bisa
diganjar hukuman mati jika hanya dilakukan sekali. Raja Xerxes
pun tidak pernah memaksakan daerah taklukannya untuk menjadi
Zoroastrian. Ini
terbukti dengan mesir tetap melakukan tradisi pertuhanan mereka
dengan bebas meskipun telah ditaklukan Persia.
THERMOPYLAE
Thermopylae merupakan sebutan
untuk pertempuran yang terjadi sekitar 480 Sebelum Masehi antara
aliansi negara-kota Yunani
melawan invasi Persia
yang berlangsung di celah Thermopylae
di Yunani tengah.
Aliansi negara-kota Yunani
tersebut dipimpin oleh Leonidas,
Raja Sparta (Yunani).
Dari pihak Persia
masih samar berapa jumlah pasukan yang ikut dalam invasi tersebut.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Raja Xerxes
mengerahkan sekitar 100.000 pasukannya ke Yunani. Pertempuran
Thermopylae sendiri
sebenarnya bukan tujuan atau pertempuran utama bagi kedua belah
pihak. Tapi yang jelas Raja Xerxes ingin
membalas kekalahan telak pasukan Persia pada invasi sebelumnya yaitu
di pulau Marathon.
Karena
sempitnya medan Thermopylae
yang merupakan celah di antara dua bukit di dekat Laut Aegea,
jumlah pasukan yang terlibat dalam pertempuran tersebut hanya sekitar
25.000 sampai 30.000.
Banyak orang mengira – atau memang dibuat
berfikir demikian – bahwa pahlawan dalam pertempuran tersebut
adalah Raja Leonidas
dan 300 pasukannya. Karenanya filmnya berjudul “300”. Padahal
sebenarnya jumlah pasukan Yunani tidak hanya 300 saja namun lebih!
Raja Leonidas & Raja Xerxes I |
Pasukan
Yunani yang mengikuti
pertempuran tersebut mencapai 7000 pasukan, yang terdiri dari Raja
Leonidas dan 300
pengawal pribadi Raja – bukan pasukan reguler Sparta –, 700
Thespiae dan 6000
aliansi Yunani lannya.
Ini yang mungkin belum banyak diketahui dan perlu diketahui umum.
Mungkinkah kenyataan ini sengaja ditutupi, diubah, dibelokkan atau
disamarkan untuk mendapat kesan dramatis atau betapa hebatnya pasukan
Yunani dan sebaliknya
menunjukkan betapa lemahnya pasukan Persia?
Raja
Leonidas memimpin
sekitar 5000 Hoplite
(infantri) saat berusaha menahan gerak maju pasukan Persia yang baru
saja mendarat. 5000 hoplite
ini terdiri dari pasukan Peloponnesia,
Helots, Thespia,
Thebes, dan
Phoenician. Mereka
mengambil posisi di Tempe Gorge,
jalan setapak satu-satunya yang harus dilewati pasukan Persia
untuk keluar dari Beach Head
(daerah pendaratan) untuk melanjutkan invasi. Jalan setapak itu
terletak di pinggir tebing karang di atas Laut Aegean.
Tempat yang cocok bagi koalisi Yunani
untuk mengoptimalkan panjang Sarissa
– tombak khas Yunani yang mencapai panjang sekitar 4 meter –
untuk menahan musuh dalam jumlah yang besar. Jalan setapak itu
lebarnya hanya bisa dilewati paling banyak sepuluh orang berbanjar.
Jalan setapak yang dikenal dengan nama Thermopylae
tersebut terbukti menjadi kartu As pasukan koalisi Yunani untuk
menahan laju pasukan Persia.
Untuk
membongkar pertahanan Yunani, Persia
mengerahkan orang-orang Medes
di bawah pimpinan Tigranes
namun gagal. Kemudian pasukan infantri pengawal istana Susa
(Persia/ Iran)
yang memiliki senjata dan perisai besar dikerahkan, kembali serangan
tersebut gagal dan banyak yang tewas terjatuh dari tebing karena
terdorong Sarissa.
Akhirnya Raja Xerxes
terpaksa mengeluarkan pasukan elitenya
The Immortal
untuk menembus pertahanan Yunani.
Pertarungan berlangsung sengit walaupun akhirnya The
Immortal berhasil dipukul mundur. Kekalahan
Immortal ini menjadi
pukuklan besar bagi seluruh pasukan Persia.
Persia
baru mendapat angin segar ketika seorang petani bernama Ephialtes
berkhianat dan menunjukkan sebuah jalur lain yang bisa digunakan
untuk menembus perbukitan dan muncul di belakang pasukan Yunani
yang menjaga jalan tersebut. Keesokan harinya pasukan Yunani
baru sadar bahwa pasukan Immortal
Persia sudah berada di belakang mereka.
Melihat
itu Raja Leonidas
mengijinkan prajurit koalisi Yunani
untuk mundur sementara dirinya dan akan berusaha sebisa mungkin
menahan pasukan Persia.
Akhirnya hanya sekitar 300 Spartan,
700 Thespian dan 400
Theban yang bertahan.
Mereka dikepung dari dua arah oleh pasukan Persia.
Pada
hari pertama pengepungan hampir semua pasukan Thespian
dan Theban gugur. Di
hari kedua, tinggal Raja Leonidas
dan 300 Spartan yang
bertahan mati-matian – mungkin ini yang berusaha digambarkan film
“300”, hanya secuplik/ potongan puzzle dari keseluruhan cerita
lengkap yang tang diungkap. Raja Leonidas
akhirnya gugur pada pertempuran itu. Mayat Raja Leonidas menjadi
rebutan pasukan Sparta
(Yunani) dan Persia
(Iran). Lokasi Raja
Leonidas gugur pun
menjadi ajang pertempuran dahsyat. Empat kali pasukan Persia
menguasai tempat itu dan empat kali pula pasukan Sparta
berhasil merebut posisi tersebut.
Memasuki
hari ketiga sisa-sisa pasukan Sparta
membentuk lingkaran bertahan di sekeliling tubuh Raja mereka. Pasukan
Persia yang sudah
mengalami banyak korban tidak berani melakukan serbuan frontal lagi
melainkan menghujani Spartan
dengan panah dan lembing. Di hari ketiga lewat tengah hari prajurit
terakhir Sparta gugur. 25.000 sampai 30.000 pasukan Persia memerlukan
dua setengah hari utuk mengalahkan 1400 pasukan Raja Leonidas.
Khusus untuk mengalahkan Raja Leonidas
dan 300 Spartan membutuhkan waktu satu setengah hari. Persia
kehilangan lebih banyak nyawa prajurit dalam peperangan tersebut.
Sekitar 10.000 sampai 15.000 pasukan Persia
gugur. Di antara pemimpin Persia
yang gugur terdapat dua putra Raja Darius
yaitu Abrocomes dan
Hyperanhes.
Meskipun
kalah, hasil tersebut membuat pasukan koalisi Yunani mempunyai cukup
waktu untuk mengahdapi Pasukan Persia.
Klimaksnya di dataran Platae
pasukan Yunani
berhasil menghancurkan pasukan Persia
yang tersisa dari pertempuran Thermopylae.
DINASTI
ACHAEMENID/ ACHAEMENIAN
Dinasti Achaemenid
adalah sebuah dinasti kerajaan Persia
kuno. Menurut dugaan pendiri dinasti ini adalah Raja Achaemens
dari Anshan
(Hakhamanish). Beliau
kemudian digantikan oleh putranya bernama Teispes
dari Ashan. Catatan
sejarah mengindikasikan bahwa ketika mati kedua putranya berbagi
tahta sebagai Cyrus I
dari Anshan dan
Ariaramnes dari
Persia. Keduanya
kemudian digantikan oleh putra mereka yaitu Cambyses
I dari Anshan dan
Arsames dari Persia.
Pada tahun 559 Masehi Cambyses
digantikan posisinya sebagai raja Anshan
oleh putranya Cyrus II
Agung. Kemudian beliaupun digantikan oleh Arsames
yang masih hidup di atas tahta Persia.
Raja
Cyrus II dianggap
sebagai raja pertama dinasti Achaemenid
karena pendahulunya tunduk pada Media.
Sebaliknya Cyrus II
berhasil menundukkan Media,
Lydia dan Babylon,
sementara putranya Cambyses
II menambahkan Mesir
pada kerajaannya.
Puncak
kekuasaan yang mutlak dinasti ini diraih selama masa kepemimpinan
Raja Darius I (521-485
SM) dan putranya Raja Xerxes
I (485-465 SM). Para penguasa ini membangun istana yang besar dan
indah di kota Persepolis,
Susa dan Ectabana.
Kerajaan Persia juga
meraih kekuasaan terluasnya pada masa pemerintahan mereka.
Setelah
kematian Xerxes I (465
SM) kemunduran dinasti ini dimulai. Persia
mengalami serangkaian penguasa-penguasa lemah yang menguasai
kerajaan. Kemerosotan semakin merajalela, penataan keuangan, militer
dan pemerintahan sering diabaikan.
Raja
Achaemenid terakhir
adalah Raja Darius III
(336-330 SM) yang dikalahkan oleh Alexander
III dari Macedonia.
Setelah ditaklukan Macedonia,
kerajaan Persia
diambil alih oleh Alexander.
Setelah
praktek Manethi, ahli
sejarah mesir mengacu
pada periode di Mesir
ketika dinasti Achaemenid
berkuasa sebagai dinasti yang yang ke-27 (525-404 SM) dan ke-31
(343-332 SM). Di puncak kekuasaanya para penguasa Achaemenid
dari Persia menguasai
wilayah-wilayah yang kurang lebih meliputi beberapa bagian Irak,
Mesir, Syria
(Suriah), Pakistan
(India), Jordania,
Israel (Palestina),
Lebanon, Armenia,
Asia Tengah, Kaukasia,
dan Turki bagian Asia.
Dalam periode yang berbeda dinasti Achaemenid
juga menguasai Mesir,
meskipun Mesir telah
dua kali memperoleh kembali kemerdekaannya dari Persia.
[Sumber:
Eramuslim Digest Islamic
Thematic Handbook, Buku
Intelejen Wanita Pertama Yahudi, Film 300 & Rise
of an Empire]