| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Monday 19 May 2014

REKAYASA SEJARAH, MITOS KARTINI DAN THE OTHER WOMAN POWER

      Bulan April memang sudah berakhir namun tidak ada salahnya kita mencoba untuk mencari tahu tentang Hari Kartini pada tanggal 21 April yang sering diperingati oleh warga Indonesia utamanya kaum hawa. Sebagian dari kita mungkin sempat berfikir dan bertanya-tanya, 
 
Raden Ajeng Kartini
Kenapa setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini dan kenapa harus Raden Ajeng Kartini, apakah tidak ada perempuan Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani selain R.A. Kartini?”

Pertanyaan kritis seperti ini juga telah sering diungkapkan para sejarawan yang mengetahui sejarah Indonesia, perkembangan pendidikan dan peran perempuan Indonesia di masa lalu. Misalnya sejarawan Persi Tiar Anwar Bahtiar dan Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar. Mereka mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dan mempertanyakan mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia.

      Harsja menunjuk dua sosok perempuan yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh. Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Padahal dua wanita itu sangat luar biasa. Sedangkan Kartini masuk dalam buku tersebut. 
 
      Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Beliau juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memonopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu antara tahun 1644 sampai dengan tahun 1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. 
Siti Aisyah We Tenriolle
 
      Tokoh perempuan kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Perempuan ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, perempuan ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan.

     Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan titik terang. R.A. Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan perempuan pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini, “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de BooyBoissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar (Stella), seorang aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Perempuan Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar perempuan Indonesia.

Pada tahun 1911, lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat (umur 25 tahun), Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

     Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain memprakarsai pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Harsja Bachtriar kemudian mencatat,
Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karenanya guru besar UI tersebut menyimpulkan bahwa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi perempuan di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja mengimbau agar informasi tentang perempuan Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan dan teladan bagi banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini. Beliau menegaskan, “Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R.A. Kartini.”

      Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Rohana Kudus

      Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah, yaitu mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), dan Cahaya Sumatera (Medan). Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas.

Cut Nyak Dien
Ada pula Cut Nyak Dien yang tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Beliau tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh.

Jika melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Cut Malahayati.
Laksamana Cut Malahayati

      Dengan mengetahui informasi-informasi di atas tentu kita menjadi bartanya-tanya. Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan R.A. Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Christian Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

     Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini.
Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

       Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje?
Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis,
Salam, Bidadariku yang manis dan baik! Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut, ‘Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?’ Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.”

     Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam, P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh Al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim pada tahun 1885 dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal Snouck sendiri menulis tentang Islam, ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”

      Christian Snouck Hurgronje lahir pada tahun 1857 adalah adviseur pada Kantor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat.

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia, “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan Kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.”

      Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Pada masa sekarang pun kita dapat melihat strategi dan taktik tersebut masih banyak digunakan. Bahkan mungkin semakin canggih.
 
     Saya memposting ini bukan bermaksud untuk tidak menghargai perjuangan R.A. Kartini namun semata-mata untuk membuka mata kita bersama agar lebih terbuka terhadap sejarah, kebenaran dan perjuangan para pejuang lain yang patut kita apresiasi juga. Agar kita lebih paham sejarah dan kebenaran serta mengetahui bahwa pejuang-pejuang perempuan Indonesia sangat banyak jumlahnya.
Mengenai sosok R.A. Kartini, saya akan membahasnya di postingan berikutnya, Insya ALLAAH. Silahkan disimak dan mohon dikoreksi jika ada kekeliruan. Saya juga berharap pembaca mau menambhakan jika ada yang kurang. Terima kasih.


Mereka berusaha hendak memadamkan nur (cahaya) ALLAAH dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi ALLAAH (justru) menyempurnakan nur-hidayah NYA (agama Islam) walau orang-orang kafir membencinya".
(QS. As-Shaff: 8)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
(QS. Al-Israa’: 36)

Sesungguhnya ALLAAH tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra'd: 19)

Orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah.”
(Sayyid Quthb)


[Referensi:
Adian Husaini-Catatan Akhir Pekan (CAP),
Harsja W. Bahtiar-Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita,
Tiar Anwar Bahtiar-INSISTS-Republika,
Prof. Naquib al-Attas-Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,
Kartini-Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya,
P.SJ. Van Koningsveld-Snouck Hurgronje en Islam,
Dr. Aqib Suminto-Politik Islam Hindia Belanda]


No comments:

Post a Comment